Halaman

Senin, 20 Mei 2013

HOME VISIT AJANG SILATURAHIM




Home visit merupakan moment terdasyat dan terseru sepanjang sepanjang perjalanan tahap seleksi beastudy etos. Titik terserunya adalah kami (etoser) diberi mandat untuk berjaulah ke wilayah – wilayah yang sangat unik dan mengharukan bahkan bisa sampai mengerikan. Bagaimana tidak unik? kalau kita disuruh mendatangi rumah – rumah calon etoser. Bagaimana tidak mengharukan? kalau kita dimintai mewawancarai orang tua calon etoser, mengenai penghasilan, pengeluaran, kehidupan mereka dan pertanyaan – pertanyaan lain yang menimbulkan jawaban – jawaban yang mengharukan. Dan, bagaimana tidak mengerikan? Kalau rumah yang kita datangi pastilah berada di daerah terpencil, di wilayah yang jauh dari kerumunan bisa jadi di tengah hutan atau di pucuk puncak, subhanallah kan?.
Home visit SBE13 ini saya kedapatan wilayah yang tak asing bagiku, tak jarang aku mengunjunginya dan tak bosan melewatinya, yah aku dapat wilayah magelang yang berslogan Gemilang.
Ahad, 19 mei jam tujuan aku bersiap – siap untuk road to magelang, atau jaulah atas dasar melaksanakan amanah “home visit SBE13”. Apa yang aku rasakan hari ini adalah adalah langka, pagi ini aku mengunjungi rumah yang pertama di daerah ...... rasa bahagia yang mendalam karena tak sulit aku mencarinya. Di rumah itu aku temukan semangat dari orang tua dalam menyekolahkan anaknya walaupun dengan berbagai kekurangan yang ada, luarbiasa. Sangat miris ketika mendengar jawaban dari sebuah pertanyaan “ punya hutang berapa bu?” jawabanya begitu bikin meneteskan air mata, tapi aku berusaha agar tetap membendungnya takut menimbulkan tersingung dari mereka, “wah bayak mba, hutang buat sekolah hutang buat sehari - hariDi rumah itu aku tidak hanya mendengarkan cerita – cerita mengharukan dari dua orang tua ini, tapi aku juga di beri suguhan teh dan bakwan. “ehm, alhamdulillah emang silaturahim itu menambah rezeki. Aku yang belum sarapan dikasih teh dan gorengan, nyam-nyam-nyam.” Selesainya menanyakan banyak hal sesuai dengan form yang harus ditanyakan, melanjutkan kerumah berikutnya. Alhamdulillah dengan bantuan adeknya aku diantar kerumah kedua karena memang ternyata dia temannya, alhamdulillah jadi g nyari – nyari lagi deh.
Dirumah yang masih menggunakan kayu – kayu sebagai penguatnya dan gedeg sebagai dindingnya aku temukan dua orang yang sudah sangat tua. Aku berfikir mereka adalah nenek dan kakek dari pendaftar, ternyata tidak. Mereka adalah orang tuanya. Kok bisa ya sudah tua gini. Ehm, mungkin emang cucunya sudah banyak kali ya? (fikirku). Setelah alur pertanyaan begitu mengalir ternyata adik ini hanya punya satu kakak dan sekarang sudah berumah tangga. Subhanallah ketika aku tanya “kerja apa pak dan ibu?” mereka menjawab “ya, petani tapi g punya sawah.” Semakin membuatku tertarik untuk bertanya – tanya panjang dan banyak. Hingga akhirnya keluarlah segelas teh untuk-ku. Wah aku dapat teh lagi nih alhamdulillah, walaupun kali ini tidak ada makanannya tapi lumayan menghilangkan rasa haus. Aku dapati dari kedua orang ini, mereka begitu hidup sederhana dan apa adanya, begitu polos dan terlihat hidup sangatlah tak membuat mereka sulit. Yang paling menohok bagiku adalah, perkataan ibunya “wah, g berani mba kalau hutang banyak – banyak tu”. Waduh, aku jadi teringat kakak saya harus berhutang 2 juta untuk aku pas disuruh registrasi ke UGM. Aku dapati memang kita itu harus hidup apa adanya karena memang kehidupan sesungguhnya adalah kehidupan setelah dunia ini yaitu kehidupan di akhirat.
Setelah selesai bertanya – tanya banyak aku bersegera mengundurkan diri karena masih banyak rumah yang harus aku kunjungi juga. Belanjut kerumah berikutnya, dan akan ada judul baru untuk cerita selanjutnya.
Aku dapati bahwa home visit ini memaksa orang tua yang aku kunjungi untuk terbuka se-terbuka – bukanya. Hingga muncullah kedekatan diantara kita. Aku hampir bisa merasakan apa yang mereka rasakan karena memang aku juga sama seperti mereka, kehidupanku sama seperti kehidupan mereka dan semangatku pun sama seperti semangat anak – anak mereka. Tak dipungkiri ketika orang yang berjuang dijalan yang sama, orang yang bernasib sama dan orang yang memiliki kemampuan yang sama dan keterbatasan yang sama ketika bertemu akan saling kenal dekat dan saling terbuka. Itulah yang terjadi dengan ku dan orang – orang yang aku kunjungi.
Pengalaman yang mengesankan pula aku harus meminum 5 gelas teh dan 1 gelas kopi 2 kali makan nasi dan dibawakan makanan ringan serta disuruh ngemil, yang diberikan tuan rumah yang aku kunjungi. Luar biasa selain menambah saudara, menambah rezeki dan insya allah menambah pahala. Seorang ibu yang pertama aku kunjungi mengatakan “kapan – kapan main kesini lagi ya mba” pesannya ketika aku pamit undur diri.

IBU TIRI



IBU TIRI
 (Moment Home Visit)
            Cerita ini adalah bagian dari cerita perjuangan panjangku dalam proses home visit pada hari ahad tanggal 19 mei 2013 di magelang. Kali itu adalah rumah yang ke-5 dari 6 rumah yang aku kunjungi. Di sebuah kecamatan Salaman, dekat dengan Borobudur aku cari sebuah desa yang tidak ada peta dan dikasih arah sama sang anak ini, tapi bukan etoser kalau tidak nekad, bukan etoser kalo optimis bakal ketemu tempatnya. Enteh berapa orang yang aku tanyai tentang dusun itu. Hingga aku harus bolak – balik karena beberap kali salah jalan atau salah belok.
            Jalan yang aku lewati ini bukanlah jalan normal pada umumnya. Karena aku melewati jalan yang hanya disemen dipinggir jalan sedangkan ditengah penuh dengan batu, rumput dan ada yang berisi tanah belet. Sedangan kanan jalan adalah sungai besar yang tak terpagar dan berair keruh dikiri jalan adalah jurang, sungguh penuh kehatian dalam menyetir sepeda motor ini karena selain jalan licin takut terpeleset sehingga membuatku masuk jurang atau terpelosok di sungai.
            Setelah sekian lama aku mencari, “alhamdulillah” dalam hati ketika rumah yang aku cari – cari ditemukan juga. Sampai dirumah ternyata hanya ada seorang ibu, “kok sepi ibu?” tanya ku pada ibu pendaftar beasiswa etos. Setelah berbasa – basi aku langsung membuka form yang harus diisi dan mewawancarai sang ibu, awalnya sang ibu ini meminta saya agar menelpon bapak saja. Tapi menurutku kalau sudah ada ibu kenapa harus mencari yang tidak ada, lagian kan yang penting formnya terisi dan aku bisa melihat kondisi rumah dan kehidupan secara langsung.
            Ternyata aku menarik perkiraanku sendiri, karena setelah beberapa pertanyaan yang aku ajukan yang itu merupakan pertanyaan – pertanyaan remeh dan mudah kok jawaban sang ibu membuat aku ragu dan merasa aneh. Ketika aku bertanya :”lulusan bapak apa bu?”. Dia menjawab “wah g tau mba. Aku langsung bingung tur merasa aneh yang mendalam. Berlanjut kepoint berikutnya “sekarang bapak kerja apa bu?”,pikirku masa istri g tau suaminya kerja apa tu kan tidak mungkin jadi aku yakin kali ini ibu g bakal jawab g tau. Ternyata perkiraanku salah setelah mendengar jawabannya “wah g tau mba, bapak ditelpon aja tu ada nomornya.” Ckckckckc,,,,, aku harus bagaimana? Udah susah mencari tempat ini eh ketemu seorang ibu yang sangat aneh. Lebih aneh lagi ketika aku menanyakan bahwa si anak yang mendaftar beasiswa ini anak keberapa dan punya saudara berapa? Itupun dia g tau. Dengan polos aku tanya, “ibu, punya anak berapa?. Jawabnya dengan polos “belum punya,” ha, aku langsung mlongo selebar – lebarnya, trus yang daftar beasiswa anak siapa? Ehm,,,,, #garuk-garuk kepala tambah bingung.
            Seketika aku langsung menutup lembar form tersebut dan berfikir tentang apa yang terjadi pada keluarga ini.  Aku langsung membuka berkas yang aku bawa dari pendaftar, aku baca kisah perjalanan hidupnya. Setelah panjang aku temui bahwa ternyata anak ini mendapati kehidupan yang berat karena saat kecil dia sudah mendapi orang tuanya harus bercerai dan ketika SMP bapaknya menikah lagi dengan ibu yang aku sedang wawancarai ini. O’oh pantesan, aku jadi tau kondisinya dan tak berani tanya – tanya ke ibu ini tentang yang ada di form. Aku hanya mengobrol – ngobrol yang kadang dikaitkan dengan point – point yang harus ditanyakan hanya saja aku harus menganalogikan pertanyaan dalam sebuah bentuk yang berbeda dan unik.
            Karena ketidak tenangan sang ibu, akhrinya sang ibu menghubungi bapak agar pulang lewat HP tetangganya dan aku disuruh menunggunya. Awalnya aku fikir aku pulang saja dulu lagian ibu ini tidak tau apa – apa tentang kondisi keluarganya. Ya, akhirnya aku terpaksa menunggu, lebih terpaksa lagi ternyata aku harus menunggu sekitar setengah jam. Gila ini, menunggu dengan penuh krik – krik karena ketika aku mencoba basa – basi tanya hal – hal yang ingin aku ketahui mengenai daerah itu, lagi – lagi sang ibu menjawab “g tau”, “g tau” dan “g tau”. Ehm, bikin jenuh dan sebel sebenarnya. Aku jadi ingat dengan diriku, ibuku telah meninggal. Aku berfikir apakah kalau ayah-ku telah menikah lagi dan aku punya ibu tiri apakah ibu tiriku seperti dia? Yang tidak tau apa – apa tentang keluarga, anak dan lain – lain. Ehm, #miris.
            Setelah aku bosan menunggu hingga aku memutuskan untuk pulang saja dari pada menunggu lebih lama lagi. Sang ibu ini mencegah agar aku tunggu sebentar lagi. Yah, apa boleh buat. Tapi alhamdulillah akhrinya bapak ini datang juga dan dengan bersegera aku langsung menanyakan point – point yang harus aku tanyakan dan belum terisi. Setelah selesai aku langsung minta pamit, tapi – eh tapi ternyata aku disuruh makan dulu. Ehm, padahal sebelum kesitu aku udah makan mie ayam kenapa ini disuruh makan lagi, rasa – rasanya pengin muntah kekenyangan. Tapi aku yang tidak suka mengecewakan orang dalam hal ini, aku mencoba tetep mencicipi masakan ibunya, walaupun Cuma sesendok tapi tak apa yang  penting ada usaha menghormati mereka.
            Sesesai makan ternyata ujan deres, tapi aku tetep nekad untuk pulang soalnya masih ada satu rumah yang harus aku datangi. Dengan berbekal jas ujan aku kembali mencari rumah terakhir.
            _selesai_